Diskusi Publik AJI Soroti Dampak Putusan MK Terhadap Kebebasan Pers dan Ancaman UU ITE


Jurnis.id - Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), para pembicara dari berbagai latar belakang termasuk jurnalis, akademisi, dan praktisi hukum, membahas implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Diskusi ini menekankan bahwa meskipun putusan MK telah memberikan angin segar dengan membatasi penggunaan pasal-pasal tersebut untuk melindungi kebebasan berekspresi, tantangan besar masih menghadang, terutama dari ancaman kekerasan nonfisik dan ketidakpastian hukum pasca-publikasi karya jurnalistik. (19/6)

Sadli, seorang jurnalis yang pernah menjadi korban kriminalisasi UU ITE, berbagi pengalamannya tentang bagaimana ancaman dan intimidasi tetap terjadi meski ia tidak lagi dijerat oleh pasal-pasal tersebut. Ia menceritakan bagaimana dirinya dan rekan-rekan jurnalis kerap mendapat teror melalui pesan WhatsApp atau ancaman kekerasan verbal setelah memublikasikan liputan investigatif. "Kami sudah berani meliput, tapi pasca-publikasi, ancaman datang dari mana-mana. Efeknya, banyak jurnalis yang trauma hingga enggan keluar rumah," ujarnya.  

Damian Agatha Yuvens, kuasa hukum dalam judicial review UU ITE yang diajukan oleh aktivis lingkungan Danil Fritz, menjelaskan bahwa putusan MK merupakan langkah progresif, meski belum ideal. MK memutuskan bahwa lembaga pemerintah, korporasi, atau kelompok dengan identitas spesifik tidak dapat menjadi "korban" dalam kasus pencemaran nama baik. Namun, Damian menegaskan bahwa perlindungan ini bersifat sementara, mengingat UU ITE akan digantikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2026. "Jika semangat putusan MK tidak diadopsi dalam KUHP, upaya perlindungan kebebasan berekspresi bisa sia-sia," katanya.  

Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti bahwa UU ITE kerap digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, terutama terhadap penguasa dan pemodal. Ia mencontohkan kasus-kasus di mana jurnalis dan aktivis dipidana hanya karena mengungkap praktik korupsi atau pelanggaran lingkungan. "Pola kriminalisasi ini adalah warisan otoritarianisme yang harus diakhiri," tegasnya.  

Asfinawati, akademisi dan mantan Ketua YLBHI, menambahkan bahwa kebebasan pers dan berekspresi adalah pilar demokrasi yang harus dilindungi. Ia mengkritik KUHP 2023 yang masih memuat pasal-pasal multitafsir, seperti "berita bohong" atau "penghinaan", yang berpotensi disalahgunakan. "Hukum harusnya melindungi martabat manusia, bukan lembaga atau jabatan," ujarnya.  

Diskusi ini menyoroti perlunya langkah konkret, seperti sosialisasi putusan MK kepada aparat penegak hukum dan advokasi untuk revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban guna melindungi whistleblower. Para peserta sepakat bahwa perjuangan melawan kriminalisasi harus terus dilakukan, baik melalui jalur hukum maupun tekanan publik, demi memastikan kebebasan pers dan berekspresi tetap hidup di Indonesia.  

Diskusi ini juga menggarisbawahi bahwa meski putusan MK memberi harapan, perlindungan jurnalis dan aktivis masih jauh dari memadai. Kolaborasi antara masyarakat sipil, media, dan penegak hukum diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi kebebasan berekspresi dan demokrasi.


•••••
Penulis: Tiara
Redpel: Nabela

Komentar

Posting Komentar