Ketergantungan pada Media Sosial Picu Perilaku Bullying di Kalangan Santri

 


Jurnis.id - Pondok pesantren, yang selama ini dikenal sebagai tempat menimba ilmu agama dan membentuk akhlak mulia, kini dihadapkan pada tantangan baru di era digital. Fenomena bullying atau perundungan, yang biasanya terjadi secara fisik dan verbal, kini mulai bergeser ke ruang virtual melalui aplikasi perpesanan seperti WhatsApp. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial, jika tidak diawasi dengan baik, dapat merusak nilai-nilai kebersamaan dan etika yang menjadi inti dari kehidupan di pesantren.


Bullying atau perundungan melalui WhatsApp di lingkungan pesantren adalah masalah serius yang perlu segera ditangani. Teknologi yang seharusnya digunakan untuk komunikasi positif dan produktif justru menjadi alat untuk menjatuhkan mental, harga diri, dan martabat sesama santri. Kasus seperti ini bukan hanya merusak lingkungan belajar, tetapi juga melahirkan trauma yang berkepanjangan bagi korban.


WhatsApp sebagai salah satu aplikasi paling populer di kalangan remaja memungkinkan penyebaran pesan, foto, dan video dengan sangat cepat. Dalam konteks bullying, fitur ini sering disalahgunakan untuk menyebarkan ejekan, mempermalukan seseorang, atau bahkan membuat grup khusus untuk merendahkan korban secara kolektif. Misalnya, foto atau video korban yang tidak pantas dapat dibagikan tanpa izin, memicu rasa malu dan tekanan mental yang mendalam.


Di lingkungan pondok pesantren, di mana kehidupan sehari-hari dijalani bersama-sama, kasus seperti ini menjadi lebih kompleks. Korban tidak hanya merasakan tekanan dari isi pesan WhatsApp, tetapi juga dari interaksi langsung dengan pelaku di kehidupan nyata. Hal ini dapat menimbulkan isolasi sosial, rendahnya kepercayaan diri, dan bahkan mengganggu proses pembelajaran serta ibadah mereka.


Menurut beberapa laporan, minimnya pengawasan terhadap penggunaan media sosial di kalangan santri memperburuk situasi ini. Penggunaan gawai secara bebas tanpa bimbingan sering kali membuat remaja bertindak impulsif, tanpa memahami dampak buruk dari tindakan mereka.


Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa media sosial seperti WhatsApp hanyalah alat, dan perilaku bullying sebenarnya berasal dari individu. Namun, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kemudahan penyebaran informasi melalui teknologi ini sering kali membuat bullying lebih sistematis dan sulit dikendalikan.


Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya langkah konkret dari pihak pondok pesantren, orang tua, dan pemangku kebijakan seperti regulasi penggunaan gadget, edukasi literasi digital, bimbingan psikologis, dan penguatan nilai-nilai agama dan moral. Dengan pengawasan yang baik, literasi digital, dan penguatan nilai-nilai moral, media sosial bisa kembali menjadi alat yang bermanfaat, bukan sarana untuk merundung sesama.



••••••

Penulis : Naufal K

Redpel : Feari

Komentar

Postingan Populer