Memahami apa itu Abolisi dan Amnesti : dua wewenang istimewa Presiden

 


Jurnis.id – Tahukah kamu kalau Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan istimewa dalam urusan hukum? Presiden dapat menghentikan proses hukum atau bahkan menghapuskan hukuman seseorang. Kedua wewenang tersebut ialah abolisi dan amnesti. Kedua istilah yang sering digunakan ini dianggap mirip oleh sebagian masyarakat, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.


Kata abolisi merujuk pada penghapusan proses hukum yang sedang berjalan atau bahkan belum dimulai. Seseorang yang sedang dalam tahap penyelidikan, penyidikan, atau telah ditetapkan sebagai tersangka dapat “dibebaskan” dari proses hukum lebih lanjut jika mendapatkan abolisi. Abolisi diberikan atas pertimbangan tertentu biasanya bersifat politik atau menjaga stabilitas nasional.


Sedangkan amnesti adalah istilah yang merujuk pada penghapusan hukuman pidana terhadap individu atau kelompok yang telah dijatuhi vonis, umumnya dalam konteks pelanggaran politik seperti makar atau pemberontakan. Amnesti sering diberikan secara kolektif sebagai bentuk rekonsiliasi nasional.


Kedua kewenangan tersebut merupakan hak prerogatif Presiden dan diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Presiden dapat memberikan abolisi dan amnesti dengan persetujuan DPR RI. Ini menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan monopoli presiden semata, melainkan harus melalui proses politik dan hukum yang matang.


Belakangan, wacana tentang abolisi dan amnesti kembali mencuat setelah Prabowo menggunakan kewenangannya terhadap dua kasus besar yang melibatkan tokoh publik Indonesia. 


1. Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong. 


mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong menghadapi kasus korupsi terkait importasi gula. Ia divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat setelah dianggap menyebabkan potensi kerugian negara miliaran rupiah. Hakim menyatakan tidak terbukti adanya unsur kesengajaan (mens rea) dalam tindakannya, sehingga Tom mengajukan banding dan meminta pembebasan penuh melalui abolisi. Akhirnya, Presiden Prabowo Subianto, dengan persetujuan DPR, memberikan abolisi yang membatalkan proses hukum nominalnya, dan Tom dibebaskan setelah kurang lebih sembilan bulan di tahanan.


2. Amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto.


Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2024 atas dugaan suap dan merintangi penyidikan kasus Pergantian Antarwaktu (PAW). Ia ditahan oleh KPK pada Februari 2025. Setelah melalui proses persidangan, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta pada 25 Juli 2025. Lalu pada akhir Juli 2025, Presiden Prabowo mengajukan permohonan amnesti, dan disetujui oleh DPR. Dengan demikian, hukuman yang telah dijatuhkan kepada Hasto dihentikan, dan ia dibebaskan dari penjara. Meskipun demikian, status hukum terpidananya tetap tercatat karena amnesti bukan pembatalan putusan, melainkan penghentian pelaksanaan hukuman.


Kedua kasus ini menggambarkan penggunaan dua instrumen berbeda: abolisi memperpendek atau menghentikan proses hukum yang masih berjalan, sementara amnesti membebaskan seseorang dari penahanan meski sudah dijerat hukuman.


Kendati sah secara konstitusional (dengan persetujuan DPR), pemberian abolisi dan am­nest­i tersebut menimbulkan pertanyaan besar: Apakah keputusan ini adalah bentuk pemulihan keadilan dan rekonsiliasi di tengah polarisasi politik? Atau justru menciptakan preseden bahwa kepentingan politik bisa mengalahkan independensi lembaga hukum?


Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengingatkan adanya risiko pengabaian penegakan hukum yang berkelanjutan. Praktisi hukum juga menyuarakan kekhawatiran bahwa keputusan seperti ini jika tidak disertai transparansi, dapat memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memunculkan anggapan bahwa hukum bisa dinegosiasikan oleh kekuasaan politik.


Sebagai warga negara yang cerdas, penting bagi kita memahami konteks dan fungsi dari dua kewenangan tersebut. Legislasi boleh memberikan kekuatan, tetapi akal sehat dan pengawasan publiklah yang memastikan kekuatan itu digunakan demi keadilan, bukan kompromi kekuasaan.


Penulis : Bagas

Redpel : Rh

Sumber : Kompas.com, Detik.com

Komentar