Maskulinitas Baru atau Sekadar Panggung? Menelisik Gaya Hidup Performative Male

 



Fenomena pria modern yang tampil lebih terbuka, peduli isu sosial, dan mengadopsi gaya hidup progresif semakin terlihat di ruang publik. Dari kafe-kafe di pusat kota hingga unggahan media sosial yang bertebaran di lini masa, citra pria dengan tote bag di bahu, secangkir matcha di meja, dan buku pengembangan diri di tangan sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Namun, di balik tren ini, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah perubahan ini benar-benar lahir dari kesadaran diri yang tulus, atau sekadar bentuk ikut-ikutan demi terlihat keren di mata publik?

Istilah performative male digunakan untuk menggambarkan perilaku pria yang menampilkan citra tertentu demi memenuhi ekspektasi sosial, khususnya terkait maskulinitas yang lebih terbuka, inklusif, dan progresif. Secara kasat mata, perilaku ini terlihat positif, membawa barang ramah lingkungan seperti tote bag, memilih minuman yang sedang naik daun seperti matcha latte, atau secara rutin memamerkan koleksi buku dengan tema intelektual dan pengembangan diri. Namun, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah semua itu benar-benar dilakukan karena keyakinan pada nilai yang diusung, atau hanya karena tren tersebut sedang menjadi simbol “pria kekinian” di media sosial?

Tak dapat dipungkiri, sebagian pria memang merasakan manfaat nyata dari gaya hidup ini. Mereka merasa lebih percaya diri, terbuka terhadap perbedaan, dan terdorong untuk peduli pada isu-isu sosial seperti kesetaraan gender atau kesehatan mental. Namun, tak sedikit pula yang sekadar mengikuti pola yang dibentuk media sosial, menggandeng tote bag bukan karena peduli lingkungan, tetapi karena dianggap “fotogenik”; memesan matcha bukan karena menyukai rasa atau manfaatnya, melainkan karena minuman tersebut tengah ramai diulas influencer; membaca buku tertentu bukan untuk menyerap isinya, melainkan demi memamerkan sampulnya di Instagram.

Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena performative male. Platform seperti Instagram dan TikTok mempopulerkan estetika visual yang menggabungkan gaya hidup urban, konsumsi produk-produk tertentu, dan simbol-simbol intelektual. Tren ini kemudian menciptakan standar baru: untuk dianggap “melek isu” atau “progresif”, seorang pria seolah harus memiliki penampilan dan gaya tertentu. Akibatnya, tidak semua yang terlihat mendukung perubahan sosial benar-benar melakukannya karena dorongan dari dalam diri sebagian hanya ingin mendapatkan validasi atau atensi.

Meski begitu, fenomena ini tetap memberi sinyal adanya perubahan dalam konstruksi maskulinitas. Dulu, maskulinitas sering diartikan sebagai kekuatan fisik, ketegasan, dan sikap emosional yang tertutup. Kini, semakin banyak pria yang berani menunjukkan sisi lembut, peduli pada isu-isu sosial, dan terbuka terhadap diskusi seputar kesehatan mental. Perubahan ini, meskipun sebagian sifatnya performatif, tetap dapat menjadi pintu masuk menuju kesadaran yang lebih mendalam. Tidak menutup kemungkinan bahwa tren yang awalnya hanya “gaya-gayaan” dapat berkembang menjadi sikap yang benar-benar tulus seiring waktu, jika didukung dengan pemahaman dan tindakan nyata.

Namun, perbedaan antara sikap yang tulus dan yang sekadar performatif tetap perlu diperhatikan. Dukungan terhadap perubahan sosial tidak seharusnya berhenti pada penampilan atau unggahan di media sosial. Kesadaran akan isu seperti kesetaraan gender, keberlanjutan lingkungan, dan kesehatan mental perlu diwujudkan dalam perilaku nyata yang konsisten, misalnya terlibat dalam kegiatan sosial, mengubah kebiasaan sehari-hari menjadi lebih ramah lingkungan, atau membantu menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif di lingkar pertemanan maupun tempat kerja.

Di sisi lain, publik juga memiliki peran dalam membentuk arah tren ini. Alih-alih hanya memberi apresiasi pada tampilan luar yang estetik, masyarakat perlu memberi nilai lebih pada tindakan konkret dan komitmen yang berkelanjutan. Jika tidak, tren performative male hanya akan menjadi siklus singkat yang hilang seiring datangnya tren baru.

Seiring semakin terbukanya ruang diskusi tentang maskulinitas modern, penting untuk melihat fenomena ini dengan kacamata kritis. Apakah kita sedang menyaksikan transformasi sosial yang sesungguhnya—di mana pria benar-benar berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan mendukung perubahan positif—atau sekadar pertunjukan citra yang dibentuk oleh algoritma media sosial? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan apakah performative male akan menjadi langkah awal menuju kesadaran kolektif, atau hanya catatan singkat dalam buku tren gaya hidup era digital. 


•••••
Penulis: Rolianah
RedPel: Eich
Sumber: CNN Indonesia, Kumparan

Komentar