Pro dan Kontra Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia: Peristiwa Penting Terancam Hilang?

Jurnis.id - Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang tengah digagas oleh pemerintah menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa proyek ini bertujuan untuk memperbarui historiografi nasional dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berorientasi pada semangat kebangsaan. "Kami ingin menyajikan sejarah yang lebih ringkas, relevan, dan dapat membangun rasa nasionalisme yang lebih kuat," ujar Fadli Zon dalam konferensi pers di Jakarta.

Namun, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah harus dilakukan dengan hati-hati dan transparan. Ia mengingatkan agar tidak ada peristiwa yang dihapus, termasuk istilah "Orde Lama" yang rencananya akan ditiadakan dalam narasi sejarah baru. "Sejarah tetap sejarah, walaupun pahit harus disampaikan secara utuh," tegas Puan dalam pernyataannya di Gedung DPR RI.

Di sisi lain, akademisi dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap proyek ini. Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menilai bahwa revisi sejarah yang dilakukan pemerintah berpotensi menjadi alat legitimasi penguasa dan dapat menghilangkan peristiwa sensitif di masa lalu. "Sejarah tidak boleh direkayasa untuk kepentingan politik tertentu. Kita harus mengedepankan kejujuran dan integritas dalam penyusunannya," ungkap Marzuki Darusman.

Sejumlah peristiwa penting yang disebut-sebut akan dihilangkan dari buku sejarah versi pemerintah antara lain Kongres Perempuan Indonesia 1928, Pemberontakan PRRI 1958, Tragedi 1965-66, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti 1998, serta Tragedi Mei 1998 yang sarat dengan kekerasan rasial terhadap warga keturunan Tionghoa. "Penghapusan peristiwa ini sangat mengkhawatirkan. Jika generasi mendatang tidak mengetahui sejarah yang sebenarnya, maka mereka tidak akan belajar dari kesalahan masa lalu," Ujar seorang anggota AKSI yang enggan disebutkan namanya.

Meskipun proyek ini bertujuan untuk menyusun narasi sejarah yang lebih ringkas dan relevan bagi generasi muda, kritik terhadap transparansi dan objektivitasnya terus bermunculan. Sejarawan dan akademisi menekankan bahwa sejarah harus mencerminkan berbagai sudut pandang agar tetap adil dan mendekati kebenaran. "Kita tidak boleh hanya melihat sejarah dari sudut pandang penguasa. Semua pihak harus dilibatkan dalam penyusunannya," Ujar sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Anhar Gonggong.

Dengan berbagai pandangan yang berkembang, proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia masih menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat melibatkan lebih banyak pihak dalam proses penyusunan agar sejarah yang dihasilkan benar-benar mencerminkan perjalanan bangsa secara utuh dan jujur.


•••••

Penulis: Aini

Redpel: Nabela

Sumber: Tempo.co, TribunKaltim

Sumber Foto: Pinterest

Komentar

Postingan Populer