Kemarau Basah Landa Indonesia, BMKG Prediksi Berlangsung hingga Agustus
Jurnis.id - Masyarakat di berbagai wilayah Indonesia dibuat bingung dengan cuaca tak menentu yang terjadi belakangan ini. Di tengah periode yang seharusnya merupakan musim kemarau, hujan deras justru kerap mengguyur sejumlah daerah. Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah.
Secara umum, musim kemarau di Indonesia biasanya berlangsung dari bulan April hingga Oktober, ditandai dengan turunnya intensitas hujan dan cuaca yang lebih kering. Namun, beberapa tahun terakhir, pola cuaca menunjukkan anomali. Pada musim kemarau tahun ini, hujan justru masih turun secara rutin di wilayah seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, hingga sebagian Kalimantan dan Sulawesi.
Dilansir dari CNN Indonesia, Kemarau basah adalah kondisi saat curah hujan tetap tinggi di musim kemarau. Secara klimatologis, musim kemarau di Indonesia terjadi dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan. Namun saat kemarau basah, curah hujan bisa mencapai lebih dari 100 milimeter per bulan.
Fenomena ini dipengaruhi oleh dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang lebih hangat, angin monsun yang tetap aktif, atau keberadaan La Nina yang turut disertai Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Fenomena-fenomena ini membuat hujan masih turun di sejumlah wilayah meski sudah masuk musim kemarau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengungkap berdasarkan prediksi sifat musim kemarau 2025, sejumlah wilayah diprediksi akan mengalami kemarau basah. Berdasarkan prediksi BMKG sebanyak 185 ZOM (26 persen wilayah) akan mengalami musim kemarau dengan sifat atas normal.
Menurut BMKG dalam laman resminya, kemarau basah atau sifat atas normal masih akan berlangsung di sejumlah wilayah Indonesia pada Juni hingga Agustus 2025. BMKG memprediksi sebanyak 56,54 persen wilayah Indonesia akan mengalami kondisi lebih basah daripada normalnya. Kemudian, pada Juli 2025, kemarau basah diperkirakan meluas ke 75,3 persen wilayah, dan Agustus sebanyak 84,94 persen.
Kemarau basah bisa membawa dampak baik maupun buruk. Di satu sisi, petani mungkin senang karena sawah tetap mendapat air. Tapi di sisi lain, hujan di musim kemarau bisa menyebabkan banjir, tanah longsor, atau membuat proyek pembangunan tertunda.
Bagi masyarakat umum, cuaca ini bisa membingungkan. Banyak orang tidak siap membawa payung karena mengira tidak akan hujan. Selain itu, kegiatan di luar ruangan juga bisa terganggu.
Fenomena kemarau basah menjadi salah satu bukti nyata bahwa perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan kenyataan yang sedang terjadi. Kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan dan memperkuat sistem mitigasi perubahan iklim menjadi semakin penting untuk menghadapi kondisi cuaca yang semakin sulit diprediksi.
•••••
Penulis: Manda
Redpel: Nabela
Sumber: CNN Indonesia
Sumber foto: Pinterest
Komentar
Posting Komentar