RKUHAP Dikebut, Minim Partisipasi Publik: Hukum untuk Siapa?


Jurnis.id - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga praktisi hukum menilai proses legislasi RKUHAP yang sedang digelar oleh DPR RI dan pemerintah berlangsung terlalu cepat dan minim partisipasi publik.

Dilansir dari Emedia DPR RI, Komisi III DPR RI telah menetapkan tenggat waktu untuk menyelesaikan pembahasan RKUHAP pada 23 Juli 2025. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menyatakan bahwa pihaknya menjalankan pembahasan secara maraton sejak 9 Juli. Langkah ini, menurutnya, diambil untuk mengejar penyesuaian sistem hukum acara dengan implementasi KUHP baru yang akan berlaku pada awal 2026.

Namun, langkah cepat ini justru menuai kecurigaan. Komnas HAM, bersama berbagai organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, ICJR, dan LBH Jakarta pada Forum Diskusi Publik, menyuarakan keprihatinan terhadap proses legislasi yang dinilai terburu-buru. Komnas HAM secara resmi meminta Komisi III untuk memperpanjang masa pembahasan demi menjamin keterlibatan publik secara luas, agar pasal-pasal yang dimuat dalam RKUHAP tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan prosedural.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menepis tuduhan bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup. Ia menegaskan bahwa seluruh dokumen RKUHAP telah tersedia dan dapat diakses secara daring melalui situs resmi DPR RI. Menurutnya, DPR terbuka terhadap masukan dari masyarakat selama proses berlangsung.

Namun, ketersediaan dokumen bukan satu-satunya tolak ukur keterbukaan. Sejumlah pengamat menilai bahwa publik belum mendapatkan ruang partisipatif yang memadai, seperti forum diskusi terbuka, dengar pendapat publik yang inklusif, atau kajian akademik yang diundang secara formal ke dalam forum legislasi. Dalam hal ini, proses yang disebut terbuka justru dinilai bersifat administratif belaka, tanpa menjawab substansi kritik publik.

Akademisi hukum dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan kekhawatiran serupa. Mereka menyoroti sejumlah pasal dalam draf RKUHAP yang berpotensi memperbesar kewenangan aparat tanpa kontrol yudisial yang memadai. Selain itu, hilangnya konsep "hakim pemeriksa pendahuluan", yang sebelumnya diusulkan dalam draf RKUHAP 2012, dipandang sebagai kemunduran besar dalam perlindungan hak tersangka.

Tak hanya itu, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga menyampaikan usulan agar ketentuan penyadapan dalam RKUHAP dihapus atau minimal diatur secara lebih ketat. Mereka menilai bahwa tanpa kontrol kuat, penyadapan bisa menjadi alat represif yang rentan disalahgunakan.

Di sisi lain, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil telah menggelar aksi di depan Gedung DPR RI. Mereka menuntut DPR menghentikan praktik legislasi kilat yang tidak berpihak pada rakyat. Spanduk bertuliskan “RKUHAP Bukan Untuk Penguasa!” menjadi simbol protes atas proses yang dianggap menutup partisipasi rakyat dalam sistem hukum yang akan mengatur hidup mereka.

Hingga saat ini, pembahasan RKUHAP masih berlangsung. Namun, tekanan publik terus meningkat, menuntut agar DPR dan pemerintah mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Sebab, jika disahkan tanpa koreksi yang berarti, RKUHAP dikhawatirkan akan menjadi instrumen hukum yang memberangus keadilan, alih-alih menegakkannya.


•••••
Penulis: Meila
Redpel: Nabela
Sumber: Kompas, Emedia DPR RI
Sumber Foto: Kompas

Komentar